Buruh Dalam Islam
Dalam Islam, hubungan buruh-majikan biasa dikenal dengan istilah ijaarah. Buruh biasa disebut dengan istilah ajir dan majikan dengan istilah musta’jir.
Ijaaroh diartikan sebagai transaksi atas jasa atau manfaat (yang dikeluarkan oleh ajir) dengan memperoleh imbalan atau kompensasi berupa upah/gaji. Jadi yang mendasari adanya hubungan antara pekerja dengan majikan (musta’jir) adalah manfaat yang dikeluarkan oleh pekerja –yang tentu saja dibutuhkan oleh majikan -. Dan atas ‘usahanya’ itu pekerja memperoleh imbalan berupa upah/gaji dari pihak yang mempekerjakannya. Berdasarkan hal ini, maka upah atau gaji itu berbeda-beda, karena jenis manfaat/jasa yang dikeluarkan oleh pekerja pun berbeda-beda jenisnya. Bahkan pada satu jenis jasa/manfaat, besaran upah yang dikeluarkan bisa berbeda karena dapat dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan, keterampilan, pengalaman bekerja, dan lain-lain.
Oleh karena itu, besarnya upah/gaji yang diperoleh seorang pekerja, hanya ditentukan oleh dua belah pihak, yaitu pekerja itu sendiri dan pihak yang mempekerjakannya. Dalam hal ini pemerintah/negara tidak turut campur menentukan besaran upah, atau kualifikasi manfaat/jasa yang dikeluarkan.
Dengan demikian, hubungan antara pekerja dan majikan, hak-hak dan kewajiban masing-masing hanya berkait dengan jenis manfaat/jasa yang dikeluarkan, kontrak (lamanya) kerja, besarnya upah/gaji, serta waktu pembayarannya. Di luar perkara-perkara tersebut, seperti hak pekerja atas kesehatan, jaminan hari tua, uang ganti rugi, uang penghargaan, imbalan atas kecelakaan kerja, biaya-biaya yang dimasukkan dalam penyusunan kebutuhan fisik minimum (dalam penentuan UMR) seperti biaya rekreasi, biaya perumahan dan sebagainya, bukanlah tanggung jawab majikan/perusahaan. Kewajiban majikan/perusahaan hanyalah membayar upah/gaji tepat pada waktu yang dijanjikan dan dengan besaran upah yang sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak.
Demikian pula hak-hak politik kaum buruh tidak dimasukkan dalam transaksi perburuhan, tetapi terpisah dan menjadi hak setiap rakyat. Jadi bukan buruh saja yang berhak berbicara, berserikat, berkumpul, mengeluarkan pendapat, dan berpartai, kalangan pengusaha pun berhak melakukan aktivitas-aktivitas tersebut. Sama halnya dengan seluruh lapisan masyarakat lainnya yang juga berhak melakukan aktivitas tadi.
Seluruh perkara yang menyangkut kesejahteraan buruh, hak atas pendidikan dan kesehatan yang layak, jaminan hari tua, dan lain-lain merupakan kewajiban dan tanggung jawab pemerintah/negara. Negara – dalam perspektif Islam — bukan saja bertanggung jawab terhadap kaum pekerja, melainkan atas seluruh rakyat, satu persatu. Bahkan negara juga wajib melindungi dan memelihara kepentingan dan kebutuhan seluruh lapisan masyarakat, baik itu kaum pekerja, kalangan pengusaha, kaum lemah maupun berada, laki-laki maupun perempuan, anak-anak maupun orang yang tua renta. Rasulullah saw bersabda:
“Imam (Khalifah/kepala negara) itu laksana penggembala. Dia bertanggung jawab atas rakyatnya.” (HR. Bukhari)
Disinilah letak keadilan Islam, tidak hanya berpihak kepada golongan lemah (dan miskin), dan kaum buruh, tetapi juga terhadap kalangan pengusaha, dan kaum yang kaya. Semua lapisan masyarakat memperoleh jaminan keamanan, kesejahteraan dan keadilan. Semuanya diperlakukan sama di depan hukum.
Implikasi dari penerapan sistem ini terhadap dunia perburuhan amatlah jelas. Para buruh dan majikan memiliki bargaining position (posisi tawar menawar) yang sama dalam membuat transaksi/kontrak kerja. Sebaliknya, sistem Kapitalisme yang terbiasa mempraktikkan diskriminasi hukum kepada masyarakat – utamanya rakyat kecil –, dan negaranya juga mengambil sikap ‘lepas tangan’ dari kewajiban menjamin kebutuhan masyarakat, posisi buruh menjadi amat lemah. Mereka akan selalu didikte dan didzalimi para majikan yang bermental kapitalis. Akhirnya mereka ‘terpaksa’ bekerja walaupun dengan upah yang tidak sepadan dengan besarnya usaha yang mereka curahkan.
Berdasarkan hal ini, dalam sistem hukum Islam yang diterapkan dalam format Daulah Islamiyah, tidak akan dijumpai problematika perburuhan sebagaimana yang dijumpai dalam sistem Kapitalisme. Pengusaha dan kaum pekerja sama-sama memiliki posisi tawar yang saling menguntungkan. Pengusaha tidak disibukkan dengan tuntutan buruh dan aksi-aksi buruh yang cenderung merusak,sedangkan kaum pekerja dapat bekerja dengan tenang. Mereka tidak perlu khawatir terhadap kesejahteraannya, karena Daulah Islamiyah dalam hal ini bertanggung jawab atas seluruh rakyat.
Karenanya seluruh lapisan dari umat ini – termasuk kalangan buruh dan pengusaha–, semestinya menyadari bahwa pangkal dari ribuan problematika yang menjerat mereka adalah diterapkannya sistem kapitalis-me. Sistem inilah yang telah melanggengkan keserakahan, kesewenang-wenangan dan ketidakadilan. Yang seharusnya dituntut oleh umat – termasuk para buruh – adalah pencabutan sistem ini dan mengembalikan penerapan syari’at Islam di seluruh lini kehidupan. Inilah perkara yang seharusnya diperjuangkan dengan kekuatan penuh. Bila tidak, maka sebenarnya perjuangan para buruh itu menjadi salah sasaran.
Terus dimana fungsi negara sebagai penjamin dari kesejahteraan warganya? kalau hanya relasi buruh dan majikan saja bisa dilihat akhirnya kesewenang-wenangan yang tak mencerminkan dari ajaran islam itu sendiri.
Seluruh perkara yang menyangkut kesejahteraan buruh, hak atas pendidikan dan kesehatan yang layak, jaminan hari tua, dan lain-lain merupakan kewajiban dan tanggung jawab pemerintah/negara. Negara – dalam perspektif Islam — bukan saja bertanggung jawab terhadap kaum pekerja, melainkan atas seluruh rakyat, satu persatu. Bahkan negara juga wajib melindungi dan memelihara kepentingan dan kebutuhan seluruh lapisan masyarakat, baik itu kaum pekerja, kalangan pengusaha, kaum lemah maupun berada, laki-laki maupun perempuan, anak-anak maupun orang yang tua renta.